Meskipun termasuk baku, kata subyek “saya” tidak boleh ditulis dalam skripsi, tesis, disertasi, dan karya ilmiah lainnya. Solusinya, kita harus mengenali kata ganti penulis dalam penulisan karya tulis ilmiah. Kira-kira, kenapa kata “saya” harus digantikan dengan kata ganti penulis dalam penulisan karya ilmiah?
Apa tujuan utama dari menggantikan kata orang pertama berupa “saya” tersebut dengan kata “penulis”? Yuk, pelajari 5 (lima) fakta penting terkait penulisan kata ganti penulis di dalam artikel ini!
Pentingnya Memahami Etika Penulisan Ilmiah
Etika penulisan karya ilmiah merupakan istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu etika dan disambung dengan penulisan ilmiah. Etika secara umum berarti norma atau aturan peilaku yang membahas secara kritis, rasiobal, dan sistematis. Kemudian penulisan ilmiah yang berarti kegiatan menulis karya tulis ilmiah seperti jurnal, artikel, skripsi, disertasi, dan lain sebagainya.
Sehingga dapat disimpulkan, etika penulisan karya tulis ilmiah adalah norma atau aturan perilaku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh penulis mengenai baik dan buruknya cara penulisan ilmiah.
Dalam prosesnya, seseorang memiliki kebabasan penuh dalam menulis namun harus mematuhi aturan yang berlaku sehingga hasil tulisan dapat dipertanggung jawabkan bebenaran dan keabsahannya.
“Penting untuk memahami etika penulisan ilmiah sebelum menulis sebuah karya ilmiah. Salah satu etika penulisan ilmiah adalah penggunaan kata ganti penulis, baik dalam penulisan jurnal, skripsi, thesis, dan lainnya.”
Fakta Penulisan Kata Ganti Penulis dalam Skripsi
1. Kultural yang Diwajibkan
Pertama, fakta terkait penulisan kata ganti penulis dalam skripsi adalah hal tersebut menjadi kultural yang diwajibkan. Jika kita membaca panduan-panduan skripsi dari beragam kampus versi terkini, hampir tidak ada satupun aturan penulisan yang memuat poin eksplisit berupa kewajiban mengganti kata ‘saya’ atau yang semisal dengan ‘penulis’.
Meski begitu, seluruh mahasiswa zaman now hampir mustahil dinyatakan lulus menamatkan skripsi bila masih menggunakan kata orang pertama berupa ‘saya’ dan tidak menggantinya dengan ‘penulis’ untuk menunjuk sang mahasiswa penyusun skripsi.
Sebagai sebuah kewajiban tak tertulis, kultural berupa pemakaian kata ganti ‘penulis’ dalam menunjuk sang mahasiswa penyusun skripsi memiliki beragam hukuman tak tertulis.
Maksudnya, ada berbagai konsekuensi negatif yang tidak diatur dalam peraturan tertulis manapun dan bisa didapat oleh seorang mahasiswa yang memakai kata ganti orang pertama kepada dirinya berupa ‘saya’ di dalam skripsinya. Contohnya dapat berupa labelling mahasiswa inkompeten dari pihak dosen pembimbing dan terkena proses revisi berulang kali akibat tidak terbiasa memakai kata ganti ‘penulis’.
2. Demi Objektivitas Karya Akademik
Kedua, fakta terkait penulisan kata ganti penulis dalam skripsi adalah tujuan utamanya berupa objektivitas karya akademik. Bagi para mahasiswa yang belum terbiasa dan tergugah untuk memahami penulisan kata ganti penulis dalam skripsi, kata ‘saya’ akan dirasa lebih praktis alias anti ribet.
Padahal, tujuan penulisan kata ganti penulis dalam skripsi sebagai pengganti ‘saya’ untuk menunjuk sang penyusun karya adalah menegaskan logika dan redaksional karya tersebut yang sepenuhnya diupayakan objektif serta tidak bias perspektif menurut kacamata penyusunnya sendiri.
Ringkasnya, penulisan kata ganti ‘saya’ untuk menunjuk sang penyusun karya ilmiah memberikan kesan bahwa suatu premis di dalam karya ilmiah tersebut disusun atas pandangan pribadi penyusunnya. Padahal, hal seperti itu terhitung sebagai sebuah subyektivitas yang sederhananya tidak boleh terdapat dalam sebuah karya ilmiah, lebih-lebih skripsi.
Berbeda dari opini ilmiah, skripsi ataupun karya ilmiah lainnya yang berupa riset harus disusun dengan berfokus pada obyek yang ditelitinya, bukan pada sosok yang meneliti dan menganalisisnya.
3. Tidak Menggantikan Kata ‘Saya’ secara Mutlak
Ketiga, fakta terkait penulisan kata ganti penulis dalam skripsi adalah tidak membuat kata ‘saya’ menjadi dilarang secara mutlak. Konteks pemakaian kata ganti ‘saya’ yang dilarang di dalam skripsi hanyalah yang bertujuan untuk menunjuk diri penyusun skripsinya.
Apabila ingin menunjuk diri sang penyusun, penulisan kata ganti yang diperbolehkan adalah berupa ‘penulis’. Sementara itu, mahasiswa tidak boleh menunjuk dirinya sendiri dengan kata ‘saya’ atau bahkan ‘aku’ di dalam skripsi yang disusunnya.
Hakikatnya, penggunaan kata ‘saya’ di dalam skripsi masih diperbolehkan bila tujuannya bukan untuk menunjuk orang atau mahasiswa yang menyusunnya.
Contoh penggunaan kata ‘saya’ yang diperbolehkan di dalam skripsi adalah ketika membuat kalimat kutipan langsung yang di dalamnya terdapat kata ‘saya’. Kutipan tersebut tentu tidak boleh kita rubah-rubah sedikitpun, apalagi menciptakan perubahan makna yang fatal dengan mengganti kata ‘saya’ di dalamnya dengan ‘penulis’.
Dalam hal penulisan kutipan asli yang dituturkan atau dituliskan seseorang, kata ‘saya’ justru harus dibiarkan tetap begitu adanya.
4. Pada Prakteknya Bisa Diganti dengan ‘Peneliti’
Keempat, fakta terkait penggunaan kata ganti penulis di dalam skripsi adalah punya alternatif atau sinonim yang lain. Keberadaan kata ganti ‘penulis’ di dalam skripsi bukanlah suatu istilah kebahasaan yang keberadaannya tunggal dan mutlak.
Akan tetapi, tetap memiliki alternatif pengganti berupa kata-kata ganti lain yang tetap bisa berfungsi menggantikan peranan kata ganti ‘saya’ dalam menunjuk diri penyusun dokumennya. Selama tetap menciptakan nuansa obyektif, kata ganti apapun bisa menjadi sinonim ‘peneliti’ dalam fungsi menggantikan peranan ‘saya’ ketika hendak menunjuk sang penyusun skripsi.
Kata-kata ganti alternatif selain ‘penulis’ di dalam skripsi yang lazim dipakai adalah ‘penyusun’ dan ‘peneliti’.
Kendati begitu, masing-masing kata ganti orang pertama di dalam skripsi tersebut punya konteks penggunaan yang khas dan spesifik pada praktek lapangannya.
Kata ganti ‘penulis’ di dalam skripsi, misalnya, sering dipakai pada segmen Kata Pengantar. Namun, bab lain berupa Pendahuluan dalam skripsi lebih sering memakai kata ganti berupa ‘peneliti’ dibanding ‘penulis’ ataupun ‘penyusun’.
5. Disarankan untuk Jarang Dipakai
Terakhir, fakta terkait penggunaan kata ganti penulis di dalam skripsi adalah frekuensinya yang disarankan untuk jarang dipakai. Sebagaimana pada poin kedua di atas, skripsi ataupun tugas akhir semisal merupakan karya ilmiah yang harus memberi panggung dan sorotan utama pada obyek penelitian.
Sementara itu, keberadaan sang penyusun skripsi harus diminimalisir muncul di dalam skripsi, utamanya dari bab Pendahuluan hingga Penutup. Dalam rangka menjaga obyek penelitian memiliki panggung utama itulah, kata ganti ‘penulis’ di dalam skripsi pun sebisa mungkin jarang-jarang saja pemakaiannya.
Supaya bisa meminimalisir kata ganti penulis dalam skripsi, kita harus fokus berkomunikasi memakai sudut pandang orang ketiga. Usahakan kita dan pembaca sama-sama memiliki posisi yang sama berupa sebagai orang ketiga dalam memandang ‘aktor utama’ berupa si obyek penelitian dari skripsi yang kita susun.
Dengan selalu menanamkan perspektif orang ketiga, insting menulis kita akan bisa meminimalisir kata ganti ‘penulis’ atau bahkan ‘saya’ di dalam skripsi.